Suryamedia.id – Trending tagar tentang Palestina akhir-akhir ini menghiasi berbagai media sosial. Beberapa di antaranya terdapat postingan-postingan yang menyerukan pembelaan HAM dan dukungan terhadap rakyat Palestina dari serangan tentara Israel.
Ada sesuatu yang menarik dari sejumlah postingan tersebut, yakni ungkapan ‘from river to the sea’. Ungkapan ini kerap digunakan bagi mereka yang pro-Palestina, meski penggunaannya sering kali dilarang oleh beberapa pihak, sebagai berikut;
- Partai Buruh Inggris, pada Senin (30/10/2023) menskors Anggota Parlemen Andy McDonald karena menggunakan frasa “between the river and the sea” dalam pidatonya di sebuah demonstrasi pro-Palestina.
- Menteri Dalam Negeri Inggris, Suella Braverman menggambarkan demonstrasi pro-Palestina sebagai “pawai kebencian” dan memperingatkan bahwa slogan tersebut harus ditafsirkan sebagai indikasi keinginan kekerasan untuk melenyapkan Israel.
- Asosiasi Sepakbola di Inggris juga telah melarang pemain menggunakan slogan tersebut di akun media sosial pribadi mereka.
- Polisi Austria melarang demonstrasi pro-Palestina atas dasar nyanyian tersebut dan mengklaim bahwa slogan tersebut, yang awalnya dirumuskan oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), telah diadopsi oleh kelompok bersenjata Hamas.
- Pihak berwenang Jerman juga menyatakan bahwa slogan tersebut terlarang dan dapat didakwa serta meminta sekolah-sekolah di ibukota Berlin untuk melarang penggunaan keffiyeh, syal Palestina.
Jadi, sebenarnya, bagaimana asal-usul slogan tersebut?
Asal-usul ungkapan ‘from river to the sea’
Dilansir dari Aljazeera, uangkapan tersebut digunakan sebagai seruan kebebasan Tanah Air Palestina, yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania.
Perdebatan mengenai ini sudah ada sebelum terbentuknya negara Israel pada tahun 1948. Sebuah rencana yang diajukan setahun sebelumnya oleh PBB untuk membagi wilayah tersebut menjadi sebuah negara Yahudi, yang mencakup 62 persen dari mandat Inggris sebelumnya, dan sebuah negara Palestina, namun ditolak oleh para pemimpin Arab pada saat itu.
Lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau ‘bencana’.
Pimpinan PLO kemudian menerima prospek solusi dua negara, namun kegagalan proses perdamaian Oslo pada tahun 1993 dan upaya Amerika Serikat untuk menengahi kesepakatan akhir di Camp David pada tahun 2000 menyebabkan terjadinya Intifada kedua, pemberontakan massal Palestina.
Pembebasan rakyat Palestina
Nimer Sultany, dosen hukum di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London, mengatakan kata sifat tersebut mengungkapkan perlunya kesetaraan bagi semua penduduk Palestina yang bersejarah.
Kebebasan di sini mengacu pada fakta bahwa rakyat Palestina tidak mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri sejak Inggris memberikan hak kepada kaum Yahudi untuk mendirikan tanah air di wilayah tersebut melalui Deklarasi Balfour tahun 1917.
Namun demikian, para pengamat pro-Israel berpendapat bahwa slogan tersebut memiliki efek yang mengerikan. Bagi mereka, kalimat ini mengatakan bahwa sepanjang Sungai Yordan dan Mediterania, hanya akan negara yang disebut Palestina.
Yehudah Mirsky, seorang profesor Studi Timur Dekat dan Yudaisme yang berbasis di Yerusalem di Universitas Brandeis mengatakan slogan tersebut seperti ancaman dibanding seruan pembebasan.
“Kedengarannya lebih seperti sebuah ancaman daripada janji pembebasan. Hal ini tidak menandakan masa depan di mana orang-orang Yahudi dapat memiliki kehidupan yang utuh dan menjadi diri mereka sendiri,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa slogan tersebut adalah ‘pendukung Hamas’, sementara pro-Palestina menegaskan bahwa orang-orang yang menginginkan pembebasan Palestina tidak dapat disamakan dengan pendukung kelompok bersenjata. (*)