Suryamedia.id – Tak berhenti mengkritisi aturan mengenai sistem QRIS, pihak Amerika Serikat juga menyenggol aturan tentang GPN dan logo halal produk. Kritik tajam ini muncul di dokumen Laporan Perkiraan Dagang Nasional 2025 yang dirilis USTR pada 31 Maret 2025 yang lalu.
Dalam dokumen tersebut, AS memaparkan hambatan perdagangan luar negeri yang dialami eksportirnya. Beberapa di antaranya terkait kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai QRIS, GPN, dan logo halal dinilai memberatkan.
Lantas, benarkah demikian? Untuk selengkapnya, simak alasan mengapa QRIS, GPN, dan logo halal kena senggol pemerintah AS!
Kenapa QRIS dikritik?
Menurut pemerintah AS, kebijakan sistem pembayaran yang diluncurkan Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) tersebut menunjukkan kecenderungan protektif dan semakin tertutup terhadap pelaku usaha global.
Ini karena proses penyusunan QRIS kurang keterlibatan pihak internasional, khususnya pelaku usaha dari AS. Sehingga, kebijakannya menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.
“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada,” tulis USTR dalam laporannya, Senin (21/4/2025), dikutip CNN Indonesia.
Kenapa GPN dikritik?
Pada Mei 2023, BI menetapkan kebijakan bahwa transaksi dengan kartu kredit pemerintah diproses melalui sistem GPN (Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway) dan menggunakan kartu kredit lokal.
Kebijakan ini dianggap dapat semakin mempersempit penggunaan layanan pembayaran internasional, khususnya dari perusahaan asal AS. USTR mengatakan bahwa BI cenderung menetapkan peraturan baru tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait.
“Pelaku industri menyampaikan kekhawatirannya karena BI cenderung menetapkan peraturan baru tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait, termasuk dari luar negeri,” tulis USTR.
“Perusahaan pembayaran asal AS khawatir, kebijakan baru ini akan membatasi penggunaan layanan pembayaran elektronik dari Amerika di Indonesia,” lanjut mereka.
Kenapa logo halal dikritik?
USTR menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Berdasarkan UU tersebut, sertifikasi halal wajib diberikan kepada produk pangan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang diperjualbelikan di Indonesia. Semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini.
“Karena Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia telah menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan peraturan tersebut kepada WTO dan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana yang direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO),” tambahnya.
Laporan tersebut juga menyoroti Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 784/2021 tentang produk-produk yang memerlukan sertifikasi halal dan KMA Nomor 1360/2021 tentang bahan yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal. AS merasa aturan ini bisa diubah.
“Ini adalah dokumen yang hidup, artinya dapat diamandemen tanpa memerlukan penerbitan keputusan baru,” paparnya.
Selain itu, aturan akreditasi badan sertifikasi halal asing atau Halal Certification Body (HCB) juga tak luput dari perhatian. Pemerintah AS merasa aturan tersebut memberatkan HCB AS untuk bisa menerbitkan sertifikasi halal, yang sebenarnya bisa dipangkas prosedurnya.
“Amerika Serikat khawatir bahwa peraturan akreditasi tersebut menciptakan permintaan dokumen yang berlebihan, persyaratan yang semakin memberatkan bagi auditor untuk memenuhi syarat, dan kebijakan rasio cakupan terhadap auditor yang sewenang-wenang, yang semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi yang tidak perlu bagi HCB AS,” jelasnya. (*)