Suryamedia.id – Penghapusan ketentuan batas minimum pidana penjara terhadap tersangka pengguna narkoba dibahas dalam RUU Penyesuaian Pidana. Wacana tersebut muncul mengingat kapasitas Lapas dan Rutan yang melebihi batas.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej. Menurutnya, overcrowding di penjara disebabkan oleh pidana penggunaan narkotika, yang menurut UU UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 127 mengancam hukuman 4 tahun penjara.
“Memang kami mengusulkan untuk menghapuskan minimum khusus karena ini mohon maaf overcrowding di penjara itu yang memang dasarnya adalah narkotika,” kata Eddy, Selasa (2/12/2025), dikutip Detik.
“Bisa dibayangkan dia membawa 0,1 gram 4 tahun kenanya. 4 tahun kena itu juga membiayai negara untuk bahan makanan dan lain sebagainya. Itu yang pertama,” imbuhnya.
Eddy menjelaskan, ketentuan itu bersifat minimum khusus, sehingga pengguna narkotika golongan tersebut tak bisa dipidana di bawah batas minimum. Akibatnya, kini lapas dipenuhi mayoritas pengguna narkoba.
Namun, dalam RUU Penyesuaian Pidana, batas minimum pidana dihapus bagi pengguna karena pada praktiknya hal itu hanya efektif bagi kasus pelanggaran HAM berat dan terorisme.
“Hakim boleh bergerak di antara interval minimum dan maksimum khusus. Tapi secara teori, yang namanya indeterminate sentence (minimum khusus) ini itu sangat selektif, biasanya untuk pelanggaran berat HAM dan terorisme. Itu saja, yang lain tidak,” kata dia.
Ia mengatakan, pemerintah dan DPR juga menyepakati RUU Penyesuaian Pidana mengatur sejumlah ketentuan terkait narkotika.
Ketentuan pidana narkotika dalam KUHP baru Nomor 1 Tahun 2023 kini hanya terdiri dari 16 pasal, mulai Pasal 111 sampai dengan Pasal 127. Menurutnya, RUU Penyesuaian Pidana kini dianggap jalan pintas untuk mengembalikan sejumlah pasal narkotika yang sempat dicabut dalam KUHP.
“Oleh karena itu, kami mengambil jalan pintas. Jalan pintasnya adalah satu, mengembalikan pasal-pasal yang sudah dicabut dalam Undang-Undang KUHP itu dimasukkan kembali ke dalam Undang-Undang Penyesuaian Pidana supaya tidak ada kekosongan hukum,” kata Eddy. (*)








