Suryamedia.id – Mengikuti kontroversi Gus Miftah yang dianggap mengolok-olok pedagang es saat tausiyah, banyak netizen yang mempertanyakan gelar ‘Gus’ yang diwarisinya. Disebutkan, bahwa panggilan ‘Gus’ kerap digunakan oleh banyak ulama yang wira-wiri di layar kaca.
Karena kontroversi tersebut, pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah dianggap melanggar nilai-nilai moral yang melekat pada gelar ‘Gus’. Pasalnya, gelar tersebut seharusnya merefleksikan adab yang santun dan kedalaman pikiran.
Lantas, sebenarnya, bagaimana asal-usul panggulan ‘Gus’ tersebut? Simak penjelasan lebih lengkapnya berikut!
Asal-usul panggilan ‘Gus’
Dilansir dari CNN Indonesia, panggilan ‘Gus’ berasal dari daerah Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Panggilan ini awalnya digunakan sebagai sapaan kehormatan bagi putra raja di lingkungan keraton pada masa Kesultanan Mataram Islam.
‘Gus’ berasal dari kata ‘Bagus’ yang dimaknai dengan ‘anak laki-laki berkedudukan tinggi’. Panggilan ini digunakan saat masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) yang saat ini dikenal sebagai raja, sekaligus santri.
Kemudian, sapaan ini meluas ke kalangan pesantren, sehingga menjadi gelar bagi putra kiai di pesantren Nahdlatul Ulama (NU). Sapaan Gus melambangkan harapan agar anak bisa melanjutkan peran ayahnya sebagai pemimpin spiritual.
Dilamnsir dari pesantrengodigital.id, panggilan ‘Gus’ ini tak terbatas pada keturunan kiai saja, tapi juga para santri yang memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih baik mengenai agama Islam. Serta, bisa disematkan kepada menantu laki-laki kiai.
Sebutan ‘Gus’ juga disebut sebagai kyai Muda. Seorang Gus juga bisa diangjat sebagai kiai nantinya, dilansir dari laman resmi NU Online.
Sementara itu, Ketua PBNU Bidang Keagamaan, KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menyebutkan bahwa Gus Miftah merupakan keturunan ulama besar dari Ponorogo. Ia juga mengelola sebuah pesantren Ora Aji yang berada di Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
“Dia keturunan ulama besar, Syaikh Hasan Besari Ponorogo dan mengelola pesantren di Yogjakarta, saya kenal dan pernah ke pesantrennya,” jelas Gus Fahrur kepada detikJatim. (*)