Kenapa Disebut Strawberry Moon? Ternyata Bukan karena Warna Merah

Suryamedia.id – Baru-baru ini, masyarakat dunia terpukau dengan fenomena langit yang jarang terjadi, yakni Strawberry Moon.

Fenomena tersebut merujuk pada tampilan bulan penuh (full moon) yang unik, bahkan diklaim tidak bisa dilihat lagi hingga tahun 2043 mendatang. Peristiwa Strawberry Moon tersebut telah terjadi pada 10-11 Juni 2025 kemarin.

Lantas, mengapa fenomena bulan tersebut disebut dnegan Strawberry Moon? Untuk penjelasan lebih lengkapnya, simak artikel berikut ini?

Kenapa dinamakan Strawberry Moon?

Strawberry Moon pada bulan Juni 2025 ditetapkan menjadi Bulan purnama yang cukup istimewa karena beberapa alasan. Fenomena yang terjadi pada tanggal 10-11 malam kemarin itu menjadi bulan purnama terendah di langit selama hampir dua dekade.

Setiap bulan purnama sepanjang tahun sering kali diberi nama tradisional yang mencerminkan peristiwa alam atau perubahan musim yang terjadi pada saat itu. Misalnya, bulan purnama Februari adalah Bulan Salju (Snow Moon), sedangkan bulan Juli adalah Bulan Jantan (Buck Moon) karena bertepatan dengan periode ketika rusa jantan mulai menumbuhkan tanduknya.

Baca Juga :   Pilihan UMKM yang Paling Diminati oleh Pelaku Usaha di Indonesia

Sementara itu, bulan purnama pada bulan Juni kemarin dinamakan Bulan Stroberi (Strawberry Moon) karena bertepatan dengan dimulainya musim panas, sekaligus musim panen stroberi bagi penduduk Amerika.

Istilah ‘Bulan Stroberi’ diyakini berasal dari budaya penduduk asli Amerika, khususnya suku Algonquin. Mereka menggunakan istilah ini untuk menandai dimulainya pemetikan stroberi liar di Amerika Serikat bagian timur laut, dilansir BBC Skynight Magazine.

Penamaan bulan purnama ini hanya berdasarkan pelabelan tradisional saja, bukan karena penampakannya. Sehingga, bulan ini mungkin tidak terlihat berwarna merah seperti yang banyak diekspektasikan.

Mengapa Strawberry Moon berada di posisi lebih rendah?

Bulan Stroberi memiliki posisi lebih rendah pada tahun 2025 ini. Hal ini disebabkan oleh sebuah peristiwa yang disebut ‘major lunar standstill’ atau ‘lunistice’, sebagaimana dijelaskan oleh arkeolog dan sejarawan Inggris Jennifer Wexler.

“Selama setahun, Matahari mengikuti siklus tetap perubahan posisi di langit. Namun, siklus Bulan jauh lebih cepat. Pandangan kita terhadap Bulan bervariasi selama periode 29,5 hari saat ia berubah dari bulan sabit putih tipis menjadi cakram penuh dan kembali lagi menjadi bulan sabit tipis, hingga menghilang selama tiga hari,” terangnya.

Baca Juga :   Asal-usul Tradisi Beli Baju Baru Jelang Lebaran di Indonesia, Benarkah Sejak Masa Pemerintahan Belanda?

“Sementara itu, terbit dan terbenamnya bulan bergerak dari batas paling utara ke batas paling selatan dan kembali lagi hanya dalam 27 hari,” lanjut Jennifer.

Melalui fase-fasenya, sejak dulu Bulan bertindak sebagai pencatat waktu bagi masyarakat di seluruh dunia. Namun, Bulan juga memiliki siklus lebih jauh yang jauh lebih panjang. Pada saat berhenti total, posisi terbit dan terbenam Bulan berada pada jarak maksimumnya di cakrawala.

“Periode dua tahun ini dikenal sebagai berhenti total bulan, atau lunistik, dan hanya terjadi setiap 18,6 tahun. Setelah berhenti total tercapai, jarak antara terbit dan terbenamnya bulan paling utara dan paling selatan bisa sangat jauh, dan tetap seperti itu selama sekitar dua tahun,” jelasnya lagi.

Setelah tahun 2025, lintasan Bulan akan bergeser secara bertahap, dan tidak akan mencapai titik terendah yang ekstrem lagi hingga titik berhenti berikutnya pada tahun 2043. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *