QRIS Dikritik AS, Apa Alasannya?

Suryamedia.id – Baru-baru ini, Amerika Serikat (AS) mengungkap kritik terhadap sistem pembayaran berbasis QR Indonesia atau QRIS. Kritik tersebut dimuat dalam dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

Lantas, apa yang disebut dengan QRIS, serta apa alasan kedua kebijakan tersebut dikritik AS? Simak penjelasan selengkapnya berikut!

Apa itu QRIS?

Dilansir dari laman QRIS, QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard merupakan standar kode QR Nasional untuk memfasilitasi pembayaran kode QR di Indonesia yang diluncurkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pada 17 Agustus 2019.

QRIS memungkinkan pembayaran menggunakan berbagai aplikasi e-wallet dan mobile banking dengan cukup memindai satu kode QR. QRIS menjadi standar tunggal untuk pembayaran QR di Indonesia, sehingga merchant tidak perlu memiliki banyak jenis QR Code berbeda untuk berbagai aplikasi pembayaran.

Mengapa QRIS Dikritik?

Menurut pemerintah AS, kebijakan sistem pembayaran tersebut menunjukkan kecenderungan protektif dan semakin tertutup terhadap pelaku usaha global.

Baca Juga :   Apa Alasan AS Kritik QRIS, GPN, dan Logo Halal di Indonesia?

Ini karena proses penyusunan QRIS kurang keterlibatan pihak internasional, khususnya pelaku usaha dari AS. Sehingga, kebijakannya menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.

“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada,” tulis USTR dalam laporannya, Senin (21/4/2025), dikutip CNN Indonesia.

Tak hanya itu, pembatasan kepemilikan asing di sektor jasa keuangan dan sistem pembayaran juga dinilai membatasi ruang gerak investor asing di sektor keuangan digital Indonesia. Misalnya, kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta dibatasi maksimal 49 persen.

Untuk perusahaan jasa pembayaran non-bank atau perusahaan penyedia layanan di sisi pengguna (front-end), kepemilikan asing dibolehkan hingga 85 persen, tetapi hak suara dibatasi hanya sampai 49 persen.

Sementara itu, untuk perusahaan infrastruktur sistem pembayaran di sisi backend, kepemilikan asing dibatasi hanya 20 persen. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *