Tim Peneliti Universitas Monash Ungkap Penyebab Aksi Demonstrasi, Bukan dari Pihak Asing

 

Suryamedia.id – Peneliti dari Universitas Monash Australia ungkap penyebab munculnya aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah sejak Agustus 2025. Informasi ini berdasarkan data dari Monash Data & Democracy Research Hub.

Peneliti menilai aksi masif tersebut bukan digerakkan aktor dari luar, melainkan dipicu frustrasi rakyat Indonesia sendiri. Kesimpulan ini ditarik dari analisis emosi publik, toksisitas, dan polarisasi dari percakapan masyarakat Indonesia di media sosial selama 2 tahun terakhir.

“Protes Agustus 2025 bukanlah anomali. Ia bukan digerakkan oleh aktor eksternal yang tersembunyi, melainkan refleksi akumulasi frustrasi rakyat yang telah tumbuh paling tidak sejak dua tahun terakhir-di titik temu antara polarisasi kelas sosio-ekonomi dan anti‑elite,” kata Monash, Kamis (4/9/2025).

Monash juga mendeteksi dua sumbu utama polarisasi, yakni ketegangan antara kelompok yang memiliki hak istimewa dengan kelas pekerja atau kelas menengah rentan, serta benturan persepsi antara elite politik atau dinasti dengan rakyat.

Pihaknya menyatakan bahwa keduanya tampak saat pemilu dan pilkada serentak 2024.

Baca Juga :   Aksi Menyalakan 4.000 Lilin Akan Digelar Untuk Peringati 40 Hari Kematian Brigadir J

Lembaga riset itu juga melakukan pengecekan terhadap 10 juta percakapan digital di media sosial dan berita media selama 25-31 Agustus 2025. Sebanyak 13.780 unggahan original atau bukan retweet/share diteliti untuk menangkap ekspresi autentik warganet.

Hasilnya, ada 70,9 persen percakapa non-toksik, sedangkan 29,1 persen percakapan tergolong toksik. Terdapat lonjakan toksisitas terjadi pada 28-30 Agustus atau terjadi selama ekskalasi berlangsung dan sesudah driver ojek online Affan Kurniawan tewas dilindas mobil Rantis.

Sementara itu, 20 persen percakapan mengandung polarisasi yang sudah tampak dalam dua tahun terakhir.

“Protes Agustus 2025 kembali menegaskan pola ini: DPR dan pejabat digambarkanmenikmati privilese, sementara kelompok pekerja dan masyarakat bawah menjadi korban langsung kebijakan maupun kekerasan aparat,” demikian Monash.

Atas temuan ini, Monash Data & Democracy Research Hub menyarankan Pemerintah Indonesia mengakui adanya ketegangan kelas sosio-ekonomi dan jarak antara rakyat biasa dengan elite politik/pejabat, serta mengurangi simbolisme kemewahan. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menangani permasalahan dengan akuntabel dan transparan.

Baca Juga :   Gubernur DKI Wacanakan Proyek Mangkrak di Jakarta Disulap Jadi Ruang Terbuka Hijau

“Berikan respons yang transparan dan konkret, bukan represi: tindak lanjut kebijakan yang terukur jauh lebih efektif memulihkan kepercayaan ketimbang komunikasi belaka,” ujar mereka.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto sempat menyinggung adanya pihak asing di belakang yang melakukan provokasi demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus.

“Saudara-saudara sekalian, kita waspada terhadap campur tangan kelompok-kelompok yang tidak ingin Indonesia sejahtera, tidak ingin Indonesia bangkit. Mari bersama-sama perbaiki semua kekurangan yang ada pada pemerintahan dan pada negara kita,” kata Prabowo, Minggu (31/8/2025), dikutip CNN Indonesia, (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *