Asal-usul Tradisi Beli Baju Baru Jelang Lebaran di Indonesia, Benarkah Sejak Masa Pemerintahan Belanda?

Suryamedia.id – Sebentar lagi kita memasuki bulan Ramadhan dan juga siap menyambut Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Salah satu hal yang telah menjadi tradisi saat Lebaran adalah membeli baju baru untuk dikenakan di momen istimewa tersebut.

Bagi sebagian masyarakat, mengenakan baju baru saat lebaran sebagai bentuk perayaan kemenangan setelah sebulan penuh berhasil menahan nafsu dengan melakukan puasa. Selain itu, mengenakan baju baru juga melambangkan diri yang kembali suci dan bersih. Tradisi ini pun sebenarnya telah berlangsung sejak dulu dan sifatnya turun-temurun.

Tradisi beli baju Lebaran di Indonesia

Dilansir dari Historia.id, kebiasaan beli baju baru jelang Hari Raya Idul Fitri telah berkembang di awal abad ke-20, saat Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Belanda. Tradisi ini tercantum dalam catatan milik Penasihat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial Belanda Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri pada 20 April 1904.

Surat ini kemudian dibukukan dalam ‘Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV’. Menurutnya, banyak orang yang melakukan tradisi tersebut, mulai dari kalangan pejabat hingga rakyat pribumi biasa di masa itu. Ia juga mengatakan bahwa perayaan hari besar tersebut turut menghidangkan makanan khusus, serta saling mengunjungi kerabat dan kenalan.

Baca Juga :   Cara Rasul dan Sahabat dalam Menghadapi Jin dan Setan

Dalam buku berjudul Islam di Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menuliskan bahwa perayaan Lebaran di Hindia Belanda mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa.

“Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulisnya dalam surat tersebut.

“Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa,” katanya.

Snouck juga menulis bahwa tradisi tersebut akan memiliki peran signifikan pada perputaran uang. Menurutnya, masyarakat Betawi melakukan lebih banyak pengeluaran uang dibandingkan tempat lainnya. Hal ini diduga karena orang-orang di Batavia (Jakarta saat ini) lebih mudah mendapatkan akses karena aktivitas perdangangan yang lebih tinggi.

Menciptakan kesenjangan antara pejabat dengan rakyat

Dalam catatan ‘Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi’ yang terbit dalam Outward Appearances, Kees Van Dijk yang merupakan seorang politisi asal Belanda mengatakan bahwa tradisi ini juga menimbulkan kesenjangan sosial di masa itu.

Baca Juga :   DPRD Minta Pemkab Pati Giatkan Sidak Pasar Jelang Lebaran

Hal ini dimanfaatkan oleh para pejabat pribumi memanfaatkan dana pemerintah untuk menyambut Hari Raya, termasuk pembelian pakaian baru. Mereka membeli pakaian dengan berbagai pilihan mulai dari gaya Melayu, Arab maupun Eropa, namun hanya beberapa warga pribumi yang bisa menikmati pakaian baru saat Lebaran.

“Bupati dan kepala wilayah biasanya melengkapi penampilan mereka dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berbenang emas, dengan sepatu bot dan taji untuk sepatu menurut gaya Eropa. Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang, Jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda,” tulis Kees.

Namun, pada awal tahun 1900, model pakaian untuk rakyat biasa mengalami perluasan. Pada Harian De Locomotif terbitan 30 Desember 1899, dijelaskan bahwa mereka mulai berpakaian Barat mengikuti kebiasaan pejabat kecuali kain penutup kepalanya. Rakyat biasa tidak hanya mengenakan sarung dan peci baru, tapi juga dengan sepatu dan celana panjang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *